Psikolog : Kasus Viral Audrey Bentuk Kejahatan di Luar Nalar

Rabu, 10 April 2019 / 22.23
Psikolog Drs Irna Minauli Msi.
MEDAN, KMC - Viralnya dugaan kasus kekerasan Audrey siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pontianak berusia 14 tahun mendapat perhatian dari seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan mendapat  kecaman dari semua pihak.

Psikolog Dra. Irna Minauli, M.Si menuturkan tindakan perilaku kekerasan yang terjadi pada Audrey menunjukkan suatu bentuk kejahatan yang diluar nalar sehingga dapat dikategorikan sebagai extraordinary crime. Terlebih ketika hal itu dilakukan oleh sekelompok remaja putri yang masih berusia di bawah 18 tahun.

“Perilaku kekerasan ini jika dilakukan oleh orang dewasa dapat dikategorikan sebagai gangguan kepribadian antisosial atau antisocial personality disorder. Akan tetapi berhubung pelaku masih dalam kategori kanak-kanak maka hal ini masuk dalam kategori gangguan perilaku (conduct disorder). Di mana gangguan kepribadian antisosial ini dulunya dikenal dengan istilah psikopat,” kata Irna, Rabu (10/4/2019).

Direktur Biro Minauli Consulting, ini menjelaskan  anak-anak dengan gangguan perilaku ini jika tidak ditangani dengan serius dapat berkembang menjadi pribadi dengan gangguan psikopat. Maka seperti halnya kaum psikopat maka anak-anak yang memiliki gangguan perilaku ini juga memperlihatkan kurangnya atau hilangnya empati. Mereka juga senang melakukan tindakan yang melanggar hukum. Sepertinya hukuman tidak lagi menjadi hal yang menakutkan bagi mereka.

“Kepribadian mereka diwarnai dengan kemarahan, permusuhan dan kebencian. Mereka seolah tidak memperlihatkan belas kasihan pada korbannya, bahkan sepertinya mereka sangat menikmati penderitaan yang dialami korban,” jelasnya.

Jadi, anak-anak remaja tersebut pada umumnya tidak memiliki rasa takut dan hukuman seolah tidak menimbulkan pengaruh apapun pada mereka. Maka tindakan yang dapat dilakukan adalah pemberian disiplin yang ketat karena pada umumnya mereka adalah anak-anak yang tidak terbiasa dengan aturan atau anak yang senang melanggar aturan.

“Itu sebabnya kalau tidak ada kejelasan dalam bentuk sanksi yang jelas dan tegas akan membuat mereka tidak memiliki efek jera,” ucapnya.

Akan tetapi, lanjut Irna untuk dapat menegakkan diagnosis tersebut juga perlu dilihat latar belakang kehidupan sebelumnya. Apakah ada gangguan perilaku (conduct disorder) yang sudah terlihat sejak masa kanak-kanak dimana mereka senang melukai binatang atau merusak properti ketika mereka marah. Mereka tidak mampu mengendalikan kemarahannya secara tepat.

“Untuk itu peran keluarga dan teman sebaya sangat mempengaruhi terjadinya perilaku ini. Keluarga yang tidak berfungsi dengan baik (dysfunctional family) lebih berpeluang menghasilkan anak-anak dengan gangguan perilaku. Orangtua yang bercerai serta ibu yang merokok ternyata lebih berpeluang besar melahirkan anak-anak dengan gangguan perilaku ini,” jabarnya.

Bahkan menurut Irna Minauli, hasil penelitian yang cukup menarik ketika ditemukan korelasi yang cukup besar antara ibu yang merokok dengan anak yang memiliki gangguan perilaku ini. Hal ini dapat dijelaskan bahwa ibu yang merokok cenderung memiliki kepribadian yang lebih berani untuk menentang aturan sosial yang umumnya melarang perempuan untuk merokok.

“Tentu saja ada banyak faktor lain yang menyebabkan seorang anak mengalami gangguan perilaku ini. Akan tetapi ini merupakan fakta dari beberapa penelitian,” tandasnya. (siti)
Komentar Anda

Terkini