Ratusan Massa Demo Tolak Pengesahan RUU Pertanahan

Senin, 23 September 2019 / 19.25
Massa demo di depan Gedung DPRD Sumut menolak pengesahan RUU Pertanahan.
MEDAN, KLIKMETRO - Ratusan massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Tani dan Masyarakat Sipil Societi melakukan aksi unjuk rasa menolak Pengesahan RUU Pertanahan di depan Gedung DPRD Sumatera Utara, Jalan Imam Bonjol, Medan, Senin (23/9/2019). Rencananya RUU ini akan disahkan pada Selasa (24/9) bertepatan pada Hari Tani Nasional.

Alim Sembiring, salah satu koordinator aksi menyampaikan sampai saat ini banyak konflik agraria di Sumut telah memposisikan petani, masyarakat adat, hutan adat, wilayah kesatuan masyarakat adat sebagai objek yang dikesampingkan oleh hukum.

"Negara tidak hadir untuk melindungi tanah-tanah masyarakat, bahkan negara justru menjadi perpanjang tangan korporasi yang merampas hak-hak lahan hidup masyarakat," ucapnya.

Sepanjang 2018 ada berbagai letusan konflik agraria di Sumut. Dimana, catatan dari Hutan Rakyat Institut (HaRI) menyatakan bahwa sepanjang 2014-2018 ada 106 kelompok masyarakat yang sampai saat ini berkonflik dengan perusahaan perkebunan, dengan luasan sengketa mencapai 346,648 Ha.

"Dari 106 tersebut, 75 kelompok masyarakat tani dan masyarakat adat masih berkonflik dengan perusahaan tanaman industri," terang Alim.

Mereka menilai bahwa RUU Pertanahan akan mengancam dan merampas kedaulatan petani dan masyarakat adat dan kontra produktif dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria. Padahal, seharusnya RUU Pertanahan menjadi regulasi yang dapat menjawab disharmonisasi peraturan perundang-undangan tentang agraria yang sudah ada selama ini.

"Bukan sebaliknya malah mereduksi norma, nilai-nilai dan kaidah yang sudah ada sehingga menciptakan ketidak-pastian hukum, berpotensi menghilangkan efektivitas dan efisiensi dalam implementasinya serta berpotensi pula pemborosan dalam sumberdaya," ujar Alim.

Selain itu, hampir secara keseluruhan isi dan RUU tersebut akan mengancam dan memuluskan perampasan tanah. RUU Pertanahan tidak mengkehendaki adanya penyelesaian konflik-konflik agraria yang dialami petani dan masyarakat adat secara berkeadilan. Bahkan yang muncul adalah kekuasaan Negara yang berlebihan dengan penyebutan Tanah Negara dalam kebanyakan pasal dan menteri berhak mengolah dan memanfaatkan lewat aturan yang dibuatnya.

Bunyi undang-undang seperti ini dinilai sangat potensial untuk penyalahgunaan dan berpotensi melahirkan 'perselingkuhan' Negara dengan pemodal, bahkan terkesan memberi impunitas terhadap korporasi (pemegang hak) yang menguasai tanah secara fisik melebihi luasan haknya (Pasal 25 ayat 8). Padahal, dari 2,7 juta  hektar lahan yang berkonflik karena konsesi ini sebagian besar adalah tanah yang merupakan wilayah hidup masyarakat. Dan sebagian perusahaan saat ini sedang diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Untuk itu, kami dengan tegas menolak pengesahan RUU Pertanahan. Kami meminta agar DPR-RI tidak terburu-buru membahas dan mengesahkan RUU Pertanahan di penghujung periodesasi DPR, jika hanya akan mencederai hati dan perasaan rakyat dan memberikan reputasi buruk di penghujung pengabdian," tegas Alim.

"RUU Pertanahan harus dibahas kembali secara komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan dengan semangat Nasionalisme dan selaras dengan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 dan UUPA bahwa tanah untuk rakyat bukan untuk kepentingan segelintir orang," pungkasnya. (ar/mtc)
Komentar Anda

Terkini