Miris, 2000 KK di Batang Gadis Madina Bertarung Nyawa Lintasi Jembatan Alternatif

Minggu, 06 Oktober 2019 / 19.01
Kondisi jembatan alternatif, pasca jembatan utama hanyut akibat banjir bandang melanda Kecamatan Tambangan, Madina.
MADINA, KLIKMETRO - Setiap hari masyarakat tujuh desa di seberang Batang Gadis, Kecamatan Tambangan, Kabupaten Madina, menderita menyeberangi jembatan di atas Sungai Batang Gadis. Mereka harus bertarung nyawa menyeberangi jembatan, sebab jembatan utama sudah hanyut terbawa banjir bandang sejak Oktober 2018 lalu.

Kondisi inilah yang mau tak mau harus dijalani oleh warga di tujuh desa. Karena sejak setahun jembatan hanyut, warga yang diperkirakan berjumlah 2000 kepala keluarga (KK) ini harus melintasi jembatan alternatif dengan kekuatiran yang kerap mengancam.

Kehidupan masyarakat di Desa Tambangan Jae, Tambangan Tonga, Tambangan Pasoman, Rao-rao Dolok, Rao-rao Lombang, Simangambat dan Panjaringan, berubah total.

Jembatan Tambangan sebagai penghubung utama menuju pusat kecamatan dan kabupaten, putus total sehingga sangat mengganggu roda perekonomian masyarakat.

Di tengah kesusahan ini, masyarakat membuat alat penyeberangan getek atau rakit selama lima bulan mulai Oktober hingga April 2019.

Karena sudah tak tahan bergetek, masyarakat musyawarah membangun jembatan gantung sementara.

Beruntung, salah satu putra wilayah ini yang menjadi anggota DPRD Madina, mau mengeluarkan dana pribadinya. 

"Jembatan gantung atau rambin sepanjang 60 meter yang terbuat dari papan akhirnya ada. Kami bersukur. Tidak bisa dilintasi mobil. Sepeda motor pun harus gantian melintas," jelas  Cein Lubis (39), Ketua Panitia Pembangunan Rambin Tambangan, Minggu (6/10/2019).

Warga masyarakat di tujuh desa ini pun mengandalkan jembatan gantung ini sejak April 2019 sebagai penghubung utama dengan dunia luar.

"Kami kesulitan membawa hasil bumi dari kampung ke pusat kecamatan. Buah-buahan menjadi murah karena mahalnya biaya langsir dari desa ke pusat kecamatan," jelas Cein.

Menurut warga Desa Tambangan Jae ini, biaya ojek pangkalan pun menjadi sangat mahal. Dimana Rp10 ribu per sekali antar dengan jarak tempuh hanya 3 Km.

"Sementara biaya hasil getah hanya Rp5 ribu per kg. Dua kilo getah untuk sekali jalan," ungkapnya.

Mirisnya lagi, warga yang menderita sakit. Tidak bisa lagi dibawa ke pusat kecamatan untuk berobat.

Karena mobil yang tak bisa melintas. Terpaksa memutar jauh atau berobat ke rumah sakit yang berada di Ibukota Kabupaten Madina yaitu Panyabungan.

Sementara Ali Syahrin (25), warga Desa Tambangan Jae menyebutkan, anak usia sekolah menjadi terlambat setiap hari karena tak ada angkot yang mau membawa mereka ke sekolah.

"Anak sekolah menjadi terlambat masuk karena harus jalan kaki. Banyak anak sekolah mulai SMP, SMA dan pesantren yang bersekolah di ibukota kecamatan dan Panyabungan,"jelasnya.

Sebenarnya, tidak saja warga tujuh desa yang menderita. Namun warga di pusat kecamatan juga menderita. Sebab, tanah wakaf masyarakat di sana berada di seberang Sungai Batanggadis.

"Kerandanya terpaksa dilepas. Hanya diikat ke papan. Bahkan, mayat ini pun sempat dibawa pakai getek. Kasihan kita melihat mayat ini, ” kata Ali Syahrin.

Pantauan wartawan, beberapa warga terlihat hampir jatuh ke sungai disebabkan jembatan gantung yang bergoyang saat dilintasi.

Tinggi jembatan dari atas sungai ada sekitar 10 meter, dan sungai Batanggadis ini termasuk kategori dalam dan deras di bawah jembatan gantung. Sehingga akan sangat berbahaya, terutama jika anak-anak atau perempuan yang jatuh ke sungai.(mar)
Komentar Anda

Terkini