Benteng Putri Hijau, Sebuah Tragedi Budaya

Rabu, 18 Mei 2022 / 14.28

Abah Rahman.

KLIKMETRO.COM - Didukung prajurit dan persenjataan tangguh Kesultanan Turki Usmani bahkan panglima dari India, ribuan tentara Aceh tak bisa membobol benteng ini dengan cara-cara biasa. Kelicikan siasat perang lah yang akhirnya membuat Kesultanan Aceh berhasil menaklukkan Aru, kerajaan pemilik benteng perkasa itu. Inilah kisah benteng perang abad 13 penuh daya mistik yang kini jadi situs cagar budaya tanpa khas mistik.

Benteng Putri Hijau. Benteng baheula seluas 17 hektar yang di sisi gerbang masuknya mengalir mata air keramat tempat pemandian (pancuran) Putri Hijau ini berada di Desa Delitua, Kecamatan Namorambe, Deliserdang. Sebagian areal sisa benteng kini menjadi kawasan permukiman Perumnas Taman Putri Deli. 

Sejak 2014, situs legendaris aset Sumatera Utara ini resmi menjadi kawasan cagar budaya. Penetapan soal itu tertuang dalam SK Cagar Budaya Benteng Putri Hijau No. 1863/2014 dikeluarkan Bupati Deliserdang.

Meski telah ulang kali ditemukan kalangan arkeolog, sampai sekarang benda-benda purba masih sering didapati dari kawasan benteng bersejarah ini.

"Asal warga di sini membangun rumah, dari galian tanah selalu ditemukan uang-uang koin tempo Doeloe. Koin-koin itu bertulisan Arab. Pecahan keramik zaman doeloe juga ditemukan," kata Herdiansyah (43), warga Perumnas Taman Putri Deli, Selasa (26/4/2022). 

Karena tinggal di bekas areal permukiman purba, Her -sapaannya- sering bermain di Benteng Putri Hijau. Dia bahkan mengaku paling suka mengamati Gua Umang, yang lokasinya tak jauh dari rumahnya. Gua kecil itu menurutnya sangat unik. 

Dikenal misterius, Gua Umang diyakini sebagai tempat tinggal orang bunian. Ini dedemit dalam mitologi Karo. Minus telapak kaki yang terbalik, makhluk kecil ini dilaporkan memiliki wujud mirip manusia. 

Secara peradaban, makhluk tak kasat mata itu dikabarkan punya hubungan erat dengan  manusia-manusia doeloe yang hidup dalam areal Benteng Putri Hijau.

Pada penelitian sepanjang tahun 2008, sejumlah arkeolog menemukan banyak benda purba dari lokasi benteng hingga Gua Umang yang berada di sisi barat benteng. Temuan itu beragam.

Mulai artefak peralatan batu (sumatralith) beragam ukuran, peluru senjata api laras panjang bahan timah yang umum digunakan pada abad 15, puluhan keramik abad 12, koin-koin mata uang Aceh, hingga kapak-kapak era manusia primitif pun ditemukan dari lokasi Benteng Putri Hijau.

Temuan benda-benda peradaban abad 15 hingga surut ke era 'manusia kera' (Pithecanthropus Erectus) itu kontan bikin heran kalangan arkeolog, antropolog, tak terkecuali sejarawan. Sebagian dari mereka lalu menyimpulkan kehidupan di kawasan benteng itu telah ada sejak jaman pra sejarah.

Temuan itu bahkan membuat seorang praktisi kebatinan menjadikan areal benteng purba itu sebagai "rumah keduanya". Lewat komunikasi transendental, saban hari dia menggali ilmu mistik warisan situs Benteng Putri Hijau. Rutinitas itu dilakukannya sejak tahun 2019.

"Sebagai bahan ilmu pengetahuan pun lokasi ini harusnya wajib didatangi oleh orang-orang yang berkunjung ke Istana Maimun. Jadi habis dari Istana Maimun, para pengunjung itu harus ke sini. Karena dari lokasi inilah kemudian lahir Kesultanan Deli," kata Abah Rahman, sang praktisi kebatinan yang juga penulis kisah-kisah misteri, ditemui di lokasi Benteng Putri Hijau, Selasa (17/5/2022).

"Bahkan sebelum Istana Maimun, ada 7 Istana Deli yang lain, semuanya berdiri di tepi Sungai Deli, dari sini (Delitua) sampai hilir dekat muara Belawan," sambungnya.

"Bagi saya, situs bersejarah ini menjadi semacam tragedi budaya mistik. Itu karena dari lokasi ini banyak warisan budaya leluhur yang tak dapat kita lestarikan," sambungnya lagi. Sebagai "penghuni lama" kawasan keramat Benteng Putri Hijau, Abah Rahman lalu bercerita.

Berebut Berkah Putri 

Mulai kepala daerah, anggota DPRD,  pengusaha, ibu rumah tangga, sampai istri simpanan telah merasakan energi berkah dari ritual mandi kembang di pancuran keramat Putri Hijau. Demikian Abah Rahman blak-blakan, tapi tak ingin menyebut identitas para pembesar itu.

Menurutnya, jauh sebelum kawasan benteng belum diperbaharui seperti sekarang, lokasi itu telah sering didatangi pejabat. Mereka --pejabat di lingkup Pemprovsu-- selalu datang jelang tengah malam. 

Setiap pejabat datang bersama spiritualis masing-masing. Tak ada yang tak didampingi cenayang. "Dan kebetulan saya termasuk di antara dukun beking para pembesar itu," jelasnya.

Soal Keramat Putri yang digemari sekalangan pejabat, menurutnya, bukanlah tanpa sebab. Selain kesahihan daya mistik telah banyak teruji, tentu karena folklore sang ratu saat memimpin kerajaan Haru.

Putri Hijau memerintah kerajaan Aru pada era abad 11-12 Masehi. Di rentang masa itu, ratu ini amat terkenal. Itu karena dia merupakan sosok yang cantik sekaligus sakti. Suka membantu siapa saja yang dilihatnya menderita.

Putri Hijau menyambung kekuasaan ibunya, Putri Merak Jingga yang kala itu memusatkan kerajaan Aru di Kota Rantang (Hamparanperak). Di masa sang ibu itulah berdiri Kota China, peradaban baheula yang kini jadi situs cagar budaya di Medan Utara.

Takdir geo politik membuat kerajaan cikal bakal kesultanan Deli ini diakui strategis secara zona perdagangan internasional. Apalagi didukung hasil bumi yang melimpah. 

Itu pula yang membuat banyak kerajaan lain iri hingga bernafsu menaklukkan Haru. Di sinilah peradaban kelam dimulai. 

Haru diserang. Perang berkecamuk. 

Dan meski Aru berhasil ditaklukkan, tapi tidak Putri Hijau. Ratu sakti itu moksa. Juga abangnya, Sang Naga.

Pun hilang, tokoh sakti itu tetap  menyisakan bukti kekeramatannya.

Pancuran Sang Putri sepanjang jaman mengeluarkan air. 

Berkah dari mata air purba itulah yang jadi motivasi sekalangan pejabat. "Termasuk sekalangan yang saya pandu ritual di tempat ini. Dan bukan kebetulan, sampai sekarang belum ada di antara mereka yang diciduk KPK," jelasnya.

Itu berkah gaib untuk politisi. Berkah senada untuk kalangan lain --yang jumlahnya lebih besar-- pun tak kalah besar diyakini kebenarannya. Mereka datang dari beragam status dan masalah.  

Mulai pengusaha kecil yang sulit meraup omset niaga, ibu rumah tangga yang terzolimi, perempuan terobsesi punya daya pikat, hingga istri simpanan yang ingin langgeng sebagai "serap" si tuan  kaya, semuanya bahkan saban hari berebut berkah di Keramat Putri. 

"Kadang saya kewalahan melayani mereka," kata Abah.

Putri Hijau Moksa

Menurut Abah Rahman, energi astral Putri Hijau telah lama jadi objek pemuas hasrat manusia haus kebahagiaan hidup. 

Ini uraian hasil blusukan paranormal itu ke kampung kelahiran Putri Hijau di Tanah Karo.

Putri Hijau --dan dua saudaranya-- bukanlah semata tokoh klasik Tanah Deli. Situs-situs peninggalannya juga bukan hanya "antropologi simbol" tentang kabar mistisnya yang menembus jaman. Ia lebih sekadar warisan budaya.

Ratu Kerajaan Haru itu dikenal cantik sekaligus sakti. Kekuatan tentara (Aceh) tak bisa menculiknya. Sang Putri moksa. Wujudnya (bersama roh) masuk ke alam lain.

Takdir yang sama pun dialami abang sang Putri yang berwujud ular (Naga Simangombus). Naga dan sang Putri moksa di Selat Malaka. Peristiwa terjadi saat Putri Hijau menggelar ritual tabur bertih dan telur di laut lepas itu.

Moksa juga dipercaya terjadi pada sejumlah tokoh sakti Pulau Jawa. Dari Prabu Siliwangi, Brawijaya V, Gajah Mada, Raja Jayabhaya, hingga Sabdo Palon Noyo Genggong. 

Moksa disebut sebagai bentuk kesaktian tingkat tinggi. Sosok level ini dianugerahi karomah tak sembarang. Itu yang membuat situs pancuran Putri Hijau di Delitua tak pernah sepi dengan para pencari berkah. Begitu juga situs lain sang Putri seperti di Pulau Berhala.

Tapi si Meriam beda. 

Adik Putri Hijau itu tidak moksa. Wujudnya pecah di medan perang. Ia pecah karena "menyalak" tanpa henti, membombardir bala tentara yang ingin menculik kakaknya. Kepala atau bagian moncongnya terpental hingga seratusan kilometer dari arena perang. 

Sejak itulah dia dinamai Meriam Puntung. Dan folklore membumi soal itu membuat dirinya dikenal tak kalah sakti.

Saking diakui sakti, potongan "kepalanya" yang terdampar di Sukanalu lama diincar kolektor benda antik dari Belanda. Meriam purba itu diyakini memiliki daya magis. Ia bisa mendongkrak sekaligus melanggengkan kekuasaan. 

Aksi percobaan pencurian terhadap Meriam Puntung diketahui terjadi beberapa kali. Semuanya tentu memakai cara-cara mistik. Hasilnya? Meski si maling berilmu, tak ada aksi yang berhasil. Aksi gagal terakhir terjadi pada 1997. 

Tahun berikutnya, 1998, giliran potongan "badan" si meriam bikin cerita heboh. Dari rumah semayam di halaman Istana Maimoon, "badan" adik Putri Hijau itu ditemukan "turun" ke jalan raya depan istana. Tengara apa?

Jawaban datang sebulan setelah temuan aneh tersebut. Seantero negeri mendadak geger. Rakyat turun ke jalan. Kekacauan massal menjalar. Reformasi bergulir. Orang-orang lalu menyimpulkan aksi Meriam Puntung "ke luar dari rumahnya" pertanda jatuhnya presiden otoriter Soeharto . 

Dari momen dua peristiwa mistik 25 tahun lalu itulah perjalanan spiritual saya mengenal Putri Hijau and two brothers dimulai.  Napak tilas edan berhari-hari itu saya mulai dari Sukanalu. Itu terjadi saat badan saya belum "bengkak" seperti sekarang.

Sukanalu adalah desa tua dekat tempat kelahiran Putri Hijau dan dua saudara saktinya. Letaknya di dataran tinggi Karo, persisnya di kecamatan Barusjahe, sekira 100 Km arah tenggara Kota Medan.  

Di sini, potongan "kepala" adik Putri Hijau itu telah lama bersemayam. "Kami memanggilnya "Nini"," kata Thomas Sitepu, kepala desa Sukanalu era '97. 

Di Sukanalu, di depan "sang Nini", di bawah rimbun jabi-jabi (pohon beringin) di situ, saya lama tepekur. Mengolah rasa, melakukan kontak gaib.

Putri Hijau dan dua saudaranya lahir tak biasa. Tanpa ayah biologis, Naga, Meriam, dan Putri Hijau lahir dari rahim Putri Merak Jingga. Proses kelahiran nipe (ular), sepotong besi (lama-lama berwujud meriam), dan bayi perempuan cantik itu terjadi di gua Lau Pirik. 

Lau Pirik pun menjadi situs kedua "tour" spiritual saya.

Usai semalaman ritual di Sukanalu, saya bergeser ke Seberaya. Gua Lau Pirik berada di desa ini. Seberaya --yang masuk wilayah kecamatan Tigapanah-- bersebelahan dengan Sukanalu. Di kedai kopi desa, saya temui sesepuh Seberaya. Saya lupa namanya. Tapi dia bermarga Karo Sekali. Dari laki uzur itulah saya "dapat restu" mendatangi Lau Pirik.

Gua keramat Lau Pirik berada di tepi desa. Di sini, usai meletak uborampe di mulut goa, saya tepekur lebih lama lagi. Dari pagi hingga hingga lepas maghrib. Suasana gua di lembah belantara Gunung Barus itu memang tampak angker.

Tepekur di Lau Pirik membuat benak saya  tercampak ke era ratusan tahun lalu. Masa ketika kelana Putri Merak Jingga dan tiga anak anehnya dimulai. Meninggalkan Seberaya, mereka pun menelusuri hutan, naik turun menyusuri terjalnya Bukit Barisan. 

Ilham mendirikan kerajaan terjadi saat anak beranak ini tiba di Penatapan. Dari ketinggian lokasi itu, "kompas" pun menuntut mereka, nun...ke hamparan luas belantara jauh di bawahnya. Dan medan ke arah itu dicapai usai menuruni tepi air terjun (Sikulikap) lalu menelusuri alur Sungai Petani (Sungai Deli) hingga hulu di bawah mata air panas Penen (Sibiru-biru).

Delitua. Di sinilah perjalanan berakhir. Di daerah ini, fakta kesaktian Putri Hijau dan dua saudaranya kian lama kian mendulang banyak pengikut. Kabar soal itu bahkan mampir ke telinga penduduk yang tinggal di Labuhandeli hingga Kota Rantang. 

Dari wilayah pesisir Belawan dan Hamparan Perak itu dukungan ke Putri Hijau menjadi ratu makin menguat. Istana berikut benteng-benteng pertahanan sepanjang tepi Sungai Deli di Pamah (Delitua) kemudian tercipta. Begitu pula pelabuhan, persis dibuat menghadap zona perdagangan internasional.

Ya, Selat Malaka. Tapi kisah kemakmuran Haru dipimpin ratu sakti nan elok rupa itu tak berlangsung lama. Bala tentara kerajaan seberang datang membawa  angkara. Haru habis dibantai. Tapi dari puing kerajaan berlegenda mistik itulah kemudian lahir kesultanan berjuluk Deli het dollar land.

Tulisan ini dibuat menyusul areal situs Putri Hijau di Delitua belakangan tampak ditata pihak pemerintah propinsi Sumatera Utara. Merangkul Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lokasi keramat itu dirancang sebagai areal cagar budaya yang harus dilindungi. Semua demi merawat jati diri bangsa.

Saya sangat mendukung itu. Apalagi dengan merajut rangkaian situs sejarah sang Putri yang telah disebut. Juga tanpa menyingkirkan faedah kekuatan astral  dari lokasi-lokasi wingit itu.

Pancuran Putri Hijau, salah satunya. Bukti fakta faedah lokasi klenik itu terbentang sejak doeloe. Tak terhitung sudah kemujaraban air pancuran Putri Hijau mengalirkan kebaikan masif. 

Dari situ muncul banyak perempuan tangguh. Tercipta 1001 rumah tangga bebas dari jeratan dilema. Banyak kemudaratan lain tersingkirkan. Semoga semua manfaat itu terus terjaga. Semoga. (*/man)

Komentar Anda

Terkini