![]() |
Kapal boat tradisional milik warga Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara nyaris tenggelam usai ditabrak Kapal Pukat Apung. (ft-ist) |
BATUBARA, KLIKMETRO.COM - Kapal boat nelayan tradisional milik warga Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara nyaris tenggelam usai ditabrak Kapal Pukat Apung, Selasa (15/4/2025) sekira jam 07.00 wib dini hari.
Insiden tragis itu terjadi ketika perahu nelayan tradisonal milik warga Tanjung tiram bernama Aam bersama 15 nelayan lainnya sedang melakukan aktivitas di laut, namun nasib naas menimpa mereka, ketika sebuah kapal boat besar pukat apung dengan kecepatan tinggi menghantam sisi perahu mereka hingga mengalami kerusakan parah.
“Saya lihat kapal itu sudah mengarah ke kami, bukannya menghindar, malah langsung menabrak. Bagian samping boat kami retak, air mulai masuk. Untung mesin cepat kami bisa dikendalikan, kalau tidak, bisa tenggelam semuanya,” ungkap Aam, dengan suara bergetar mengingat kejadian tersebut.
Lebih memilukan, kejadian ini bukan yang pertama kali terjadi. Dalam satu minggu terakhir, tercatat sudah beberapa boat nelayan jaring gembung lain yang mengalami gangguan serupa. Mereka diserang, diusir, bahkan ditakut-takuti oleh kapal pukat apung yang jelas-jelas melanggar zona tangkap.
Menurut peraturan yang berlaku, kapal pukat apung hanya boleh beroperasi minimal 12 mil dari bibir pantai. Namun dalam kenyataannya, kapal-kapal besar ini dengan leluasa memasuki wilayah tangkap nelayan kecil tanpa rasa takut akan hukum. “Kami seperti tidak punya tempat lagi untuk mencari nafkah. Mereka merampas laut kami!” teriak seorang nelayan lainnya.
Aam pun menyampaikan kekesalannya kepada awak media, “Kalau kami tenggelam, siapa yang bertanggung jawab? Nyawa kami ini bukan mainan. Kami hanya ingin mencari makan dengan cara yang halal!”
"Mereka juga melempari kami pake besi serta balok ke arah kami, beruntung Abk kami bersembunyi."tambah Aam.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran dan trauma mendalam di kalangan nelayan Tanjung Tiram. Banyak dari mereka kini enggan melaut pada malam hari karena takut akan serangan kapal besar yang arogan dan tak berperikemanusiaan.
Mereka mendesak agar aparat penegak hukum segera mengambil tindakan nyata. Penindakan terhadap kapal-kapal ilegal dan pelaku penyerangan menjadi harapan utama agar tragedi ini tidak kembali memakan korban jiwa.
“Kami minta kepada pihak yang berwang hadir, jangan tunggu ada yang mati baru bergerak. Laut ini bukan untuk dikuasai segelintir orang bermodal besar, tapi juga untuk kami yang hidup dari hasil laut,” tambah Aam.
Aksi solidaritas dari komunitas nelayan juga mulai menggeliat. Mereka merencanakan aksi damai dan pelaporan resmi ke pihak berwenang sebagai bentuk penolakan terhadap praktik-praktik ilegal yang mengancam mata pencaharian dan keselamatan mereka.
Konflik laut antara nelayan tradisional dan kapal pukat apung telah lama menjadi persoalan klasik di perairan Sumatera Utara, khususnya di wilayah Batu Bara. Namun lemahnya pengawasan dan penegakan hukum membuat kasus seperti ini terus berulang dan menambah luka di hati masyarakat pesisir.
Kini masyarakat hanya bisa berharap, suara mereka tak lagi dianggap angin lalu. Mereka ingin keadilan, perlindungan, dan rasa aman saat bekerja mencari nafkah di laut milik bersama. (dan)