Bentrok Dengan Masyarakat, Keluarga Besar HBB Desak Penutupan PT TPL

Sabtu, 29 Mei 2021 / 15.40

Keluarga besar Horas Bangso Batak mendesak pemerintah menutup PT TPL.

MEDAN, KLIKMETRO.COM - Keluarga besar Horas Bangso Batak (HBB) meminta agar PT Toba Pulp Lestari (TPL) ditutup pasca bentrok karyawan PT TPL dengan masyarakat adat Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara . 

Desakan penutupan PT TPL tersebut buntut bentrok karyawan perusahaan bubur kertas milik taipan Sukanto Tanoto ini saat menanam bibit eucalyptus diatas lahan yang diklaim warga sebagai areal wilayah adat, pada Selasa 18 Mei 2021 lalu.

Ketua Umum HBB Lamsiang  Sitompul SH MH mengatakan desakan penutupan operasional PT TPL bukan sekedar reaksi dari warga di areal wilayah adat, namun bentuk perlawanan kepada perusahaan yang berdiri sejak tahun 1983 itu karena dianggap tidak membawa manfaat ekonomi apapun.

"Perusahaan milik Sukanto Tanoto itu hanya membawa masalah. Mulai dari masalah pencemaran limbah ketika masih bernama PT Inti Indorayon Utama hingga masalah konflik agraria dan dugaan manipulasi pajak setelah ganti nama menjadi PT TPL," kata Lamsing Sitompul kepada wartawan, Sabtu (29/5/2021) di Medan.

Lanjut Lamsing Sitompul, sejak kehadiran PT TPL, kemiskinan di tanah Batak bukannya berkurang. Penyebabnya, ujar ketua HBB Lamsiang karena lahan konsesi PT TPL, yang sebagian besar merupakan wilayah masyarakat adat Batak yang ditempati secara turun temurun tak lagi bisa dikelola untuk bertani dan berkebun tersebut.

Masyarakat adat Batak kata Lamsing dan telah bertani dan mengelola hutan di wilayah konsensi PT TPL lebih dari 15 generasi melalui rangkaian hak adat dan tradisi serta aturan komunitas dan perorangan yang sangat ketat.

Bagi masyarakat Batak seperti masyarakat adat lainnya hutan adalah sumber air bersih dan tempat berlindung obat-obatan dan sumber pangan dan mata pencaharian. Banyak masyarakat adat Batak di lahan konsensi PT TPL  membudidayakan dan menanam pohon kemenyan (styrax benzoin) sebagai sumber penghasilan uang. Dari ladang kemenyan atau haminjon itu lah orang tua Batak membayar biaya sekolah dan BPJS kesehatan dan bahkan menyekolahkan anak hingga bangku kuliah," kata Lamsiang.

Lanjutnya lagi, Perhimpunan Pergerakan 98 bersama - sama masyarakat adat akan berjuang untuk mendapatkan kembali hak tanah yang dimasukkan pemerintah ke dalam areal konsensi PT TPL di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Padang Lawas Utara, Kota Sidempuan dan Kabupaten Simalungun dan Dairi dan Pakpak Bharat dan Kabupaten Toba danTapanuli Utara dan Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah dan Samosir dan Humbang Hasundutan.

"Kami bersama masyarakat adat bergandengan tangan mengambil kembali dan mempertahankan lahan atau tanah adat itu," tukasnya.
Walaupun lahan adat telah diakui oleh masyarakat Batak selama bertahun-tahun dan namun hak tersebut dan belum diakui Pemerintah Indonesia secara terbuka.

"Presiden Indonesia Jokowi hanya mengeluarkan 5.172 hektare lahan adat Pandumaan - Sipituhuta Kabupaten Humbang Hasundutan dari wilayah konsesi PT TPL. Presiden mengakui lahan tersebut sebagai tanah adat. Padahal ada 100 ribuan hektare lagi lahan adat yang tidak dikeluarkan Jokowi dari lahan konsesi PT TPL. Ini pembohongan besar kepada masyarakat adat," tegas Lamsiang.

Perampasan tanah adat dan perusakan ekosistim hutan di kawasan Tapanuli sekitarnya dimulai awal tahun 1980 an masa Orde Baru berkuasa dan ditandai penyerahan lahan konsesi oleh Departemen Kehutanan untuk PT Inti Indorayon Utama dan yang kemudian berubah nama menjadi PT TPL. 

"Pada saat Indorayon membuka lahan konsesi pemberian rezim Orde Baru dan mereka menghancurkan hutan ladang dan hutan kemenyan yang luas. Saat hutan alam ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri (HTI) dan tanaman eukaliptus yang rakus air mengeringkan sungai di sekitarnya dan menyebabkan berbagai dampak sosial dan lingkungan," katanya mengingatkan. (hotlan)
Komentar Anda

Terkini