Mangrove di Tengah Bencana Langkat, Jadi Benteng dan Jaga Ketersediaan Pangan

Sabtu, 06 Desember 2025 / 19.48

Kasto Wahyudi tengah menunjukkan jembatan susur hutan mangrove sepanjang 500 meter di Saung KTH Penghijauan Maju Bersama di Desa Pasar Rawa, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. (foto-puput)

Oleh : Puput Julianti Damanik 

"Satu pohon memberi seribu kehidupan".
Kalimat itu membuka percakapan dengan Kasto Wahyudi beberapa minggu lalu saat Klikmetro berkesempatan mengunjungi Saung di Dusun X Paluh Baru, Desa Pasar Rawa, Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

Bukan sekadar slogan, kata Wahyudi satu pohon memberi seribu kehidupan adalah kenyataan yang terasa setiap kali banjir datang menguji katangguhan kampung halamannya.

Keyakinan itu kembali menemukan buktinya pada bencana banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara, termasuk Langkat, Kamis (27/11/2025) lalu. Namun Pasar Rawa, meski ikut terendam, bergerak lebih cepat untuk pulih. 

Saat dihubungi Kamis (4/12/2025), Wahyudi mengaku banjir memang sempat merendam Desa Pasar Rawa dengan ketinggian sekitar 50 hingga 100 meter. Tetapi tiga hari, air sudah surut dan kehidupan perlahan kembali ke ritme biasanya. Saung milik Kelompok Tani Hutan (KTH) Penghijauan Maju Bersama pun kembali berdenyut.

“Ini kami sudah aktivitas kayak biasa. Sudah mulai produksi keripik ikan lagi, baru aja siap packing, Kak,” sahut Safriani, istri Wahyudi, dari ujung telepon. Suaranya terdengar lega.

Salma, anggota KTH Penghijaun Maju Bersama saat mengeringkan kripik ikan baronang di oven. (foto-puput)

Rumah produksi keripik ikan baronang yang diolah oleh istri-istri anggota kelompok itu kembali mengebulkan asap. Wajan panas kembali menyapa irisan ikan, dan aroma gurih kembali menyelinap di antara pepohonan mangrove yang tumbuh rapat, penjaga setia desa kecil mereka.

Yah, ratusan hektare lahan yang ditanami pohon mangrovelah yang menguatkan desa kecil itu, menjadi benteng hijau yang meredam banjir, angin hingga menjaga ketersediaan pangan.

Perjalanan 235 Ha Mangrove Pasar Rawa: Menanam Harapan, Menuai Perlindungan

Deru angin pesisir terasa jinak, tertahan oleh rapatnya batang dan akar mangrove yang menutupi 235 hektare hamparan lahan, menjulur seperti tangan-tangan alam yang merengkuh melindungi daratan dari bahaya.
Dan benar saja saat banjir melanda disertai angin kencang, rumah-rumah warga, saung berukuran 5x30 meter, jembatan susur hutan sepanjang 500 meter, homestay dan fasilitas lainnya tetap aman.

“Rumah, pondok wisata kita alhamdulillah aman tanpa ada kerusakan seperti yang berada di tempat lain. Sejak mangrove direhabilitasi, beda sekali dampaknya. Dulu kalau angin besar, pasti ada saja rumah rusak atau roboh,” ujar Wahyudi, Ketua KTH Penghijauan Maju Bersama.

Menciptakan benteng hijau seluas 235 hektare bukanlah pekerjaan sehari semalam. Sejak 2008, Wahyudi bersama rekan-rekannya menanam mangrove secara mandiri.

Awal mula penanaman mangrove di kawasan ini sesungguhnya berangkat dari niat sederhana, sekadar menyediakan kembali bahan baku untuk pembuatan arang. Mangrove yang dahulu melimpah telah habis ditebang hingga nyaris tak bersisa, sementara kebutuhan arang tetap berjalan.

“Dulu, usaha yang berkembang di sini adalah rumah arang, dan saya sendiri menjadi pengepulnya. Lama-kelamaan produksi semakin sulit karena bahan bakunya habis. Dari situ saya terpikir untuk menanam kembali mangrove di lahan-lahan kosong, supaya suatu hari bisa dipanen lagi untuk kebutuhan arang,” ujar pria yang akrab disapa Yudi itu.

Bahkan Yudi sempat mengajak rekan-rekannya untuk melakukan hal yang sama. Merekapun berinisiatif membuat kelompok agar penanaman mangrove lebih maksimal dan bisa dipanen bersama. Lahan seluas 50 hektar akhirnya dipenuhi tunas-tunas mangrove yang tumbuh menjadi rimbun.

“Setelah tumbuh besar dan menunggu bertahun-tahun, pas mau ditebang kami merasa kok sayang kali nunggunya tahunan nebangnya gak sampe sejam. Akhirnya kami semua sepakat terus pertahankan, apalagi kami lihat setelah ada mangrove ini air jadi bagus, ikan mulai muncul jadi kami sepakat pertahankan saja,” kenangnya.

Selain itu, diakui Yudi setelah ada mangrove banjir lebih cepat surut. “Dahulu apabila banjir rob sangat lambat surut air kalau sekarang jadi lebih cepat karena akar mangrove yang rapat, penahan alami dan peredam gelombang laut juga cegah abrasi yang biasanya memperparah banjir,” katanya.

Yudi mengaku setelah pohon mangrove lebat, dapur-dapur arang yang dimiliki oleh anggota kelompok secara sadar dirobohkan. 

“Kami semua jadi fokus melestarikan mangrove karena ikan mulai banyak, airnya mulai bagus. Kita akhirnya berinisiatif membuat tambak udang dan ikan,” ujarnya.

Ia dan rekan-rekannya kemudian fokus dengan mangrove, secara swadaya mereka membangun saung tempat berkumpul. Tak jauh dari saung, mereka memberanikan diri untuk membuat bibit mangrove untuk ditanam kembali dan dijual.

“Kita buat aja, gak tahu laku atau enggak eh ternyata banyak yang pesan. Akhirnya kita dapat banyak pemasukan dari menjual bibit mangrove,” katanya.

Merekapun terus aktif mengisi kembali 50 hektar lahan itu dengan bibit-bibit pohon mangrove hingga terlihat lebih padat hingga akhirnya tahun 2016 menjadi penanda penting, tidak ada ditemui lagi rumah arang di desa ini.

Yang tersisa kini adalah hamparan hijau mangrove yang tumbuh subur menjadi benteng hidup yang melindungi desa dari bencana, sekaligus menjadi sumber penghidupan baru.

Akhirnya, kesuksesan Yudi dan teman-temannya berbuah hasil, KTH Penghijau Maju Bersama menerima SK di tahun 2018 dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk mengelola hutan sebanyak 177,8 hektare lahan di area tersebut.

“Kami mengajukan kemitraan ke KPH karena saat itu kami mau menanam lagi, khawatir ada masalah ke depannya dan akhirnya kami diberi izin mengelolah atau memanfaatkan hutan,” terang Yudi.

Keberhasilan pengelolaan hutan mangrove ini menarik banyak perhatian berbagai lembaga, perusahaan hingga komunitas. Banyak yang datang menyalurkan program CSR hingga membeli bibit sekaligus melaksanakan penanaman pohon di Pasar Rawa hingga akhirnya 178 hektare telah ditanami oleh pohon mangrove.

“Sampai bingung mau ditanam dimana lagi karena sudah rapat sekali dan akhirnya kita ikut tanami lahan di sekitarnya juga sehingga total lahan yang kita tanami mangrove ada 235 hektare,” ujar Yudi.

Hutan mangrove seluas 235 hektare itu bukan lagi sekadar hamparan hijau di tepi laut, dialah sumber harapan baru bagi warga Pasar Rawa. Seiring rimbunnya akar dan batang yang kembali mendominasi pesisir, laut pun seperti hidup lagi. Ikan, udang, dan kepiting muncul lebih banyak, menambah penghasilan warga.

“Kami tidak pernah melarang warga menangkap ikan di sini, yang penting jangan pakai ambai karena anak-anak ikan bisa ikut terangkat. Menebang mangrove pun boleh, asal komunikasi dulu, supaya kami bisa kasih tahu mana pohon yang boleh ditebang dan mana yang tidak,” tambah Yudi.

Tak hanya itu, banyak warga kini membuat rumah-rumah ikan atau rumpon dari ranting-ranting kayu, dikerjakan secara bergotong royong atau kelompok. Hasilnya terasa nyata. Penghasilan warga melonjak jauh dibanding masa ketika mereka hanya bergantung pada arang.

“Kalau dulu dari arang paling sehari dapat Rp50.000, sekarang bisa Rp150.000 bahkan lebih. Apalagi kalau weekend. Banyak wisatawan datang, ada yang sewa sampan, ada yang jual makanan, kadang ada juga warga yang menyewakan rumah untuk mahasiswa yang riset atau kegiatan sosia,” katanya.

Melihat semakin banyaknya pendatang, Yudi dan anggota kelompok akhirnya membangun dua homestay sederhana berkapasitas sekitar 30 orang. Dari hutan yang dulu nyaris hilang, kini lahir sumber nafkah baru yang lebih menjanjikan dan lebih berkelanjutan.

Keripik Ikan Baronang: Inovasi Ibu-Ibu Pasar Rawa

Melimpahnya hasil tangkapan ikan rupanya tak hanya menghidupkan para nelayan. Keberkahan laut itu juga menggerakkan kreativitas para perempuan di desa, dimulai dari Safriani, istri Yudi, dan ibu-ibu anggota kelompok lainnya.

Setiap kali musim panen tiba, ikan baronang sering kali menumpuk. Jenis ikan ini tidak selalu diterima pasar, sehingga sebagian besar berakhir terbuang. 

“Sayang kali rasanya, padahal ikannya banyak dan segar. Dari situ saya mulai coba-coba bikin keripik ikan,” ujar Safriani, mengenang masa itu.

Percobaannya tidak langsung berhasil. Berkali-kali ia gagal mendapatkan tekstur yang renyah. Namun Safriani tidak menyerah. Ia terus mengutak-atik cara pengolahan hingga akhirnya menemukan komposisi dan teknik yang pas.

Tahun 2022, keripik ikan baronang produksi mereka resmi dipasarkan. Tak disangka, peminatnya datang dari berbagai daerah. 
“Seminggu bisa sampai 500 pack,” ungkapnya bangga.

Tiap kemasan dijual Rp15.000 dengan dua varian rasa pedas dan original. Kini, usaha kecil itu tumbuh menjadi kegiatan ekonomi yang melibatkan banyak perempuan di desa. 
“Bukan cuma istri anggota kelompok, ibu-ibu sekitar juga ikut bantu. Penghasilannya lumayan untuk nambah ekonomi keluarga,” kata Safriani.

Yang membuat usaha ini berjalan stabil adalah ikan tak pernah benar-benar hilang, bahkan setelah banjir. “Banjir tiga hari aja, setelah itu semuanya normal, tangkapan ikan tetap ada,” ujarnya.

Di antara akar mangrove yang tumbuh rapat dan perairan yang kembali sehat, para perempuan Pasar Rawa menemukan sumber rezki baru, renyah, gurih, dan menyimpan cerita ketahanan hidup yang kuat.

Pasar Rawa Menyumbang 1,3 Persen Hutan Mangrove Langkat

Perjalanan panjang warga Pasar Rawa menjaga hutan mangrove ternyata tidak hanya berdampak pada lingkungan dan ekonomi desa, tetapi juga memberi kontribusi signifikan bagi luasan hutan mangrove di Kabupaten Langkat.

Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan UPTD KPH 1 Stabat, Erizar Pasaribu, mengingat kembali bagaimana usaha KTH Penghijauan Maju Bersama mulai mendapatkan pijakan hukum. 

Pada 2017, kelompok tersebut mengajukan kemitraan kehutanan kepada KPH 1 Stabat dengan tujuan awal memanfaatkan hasil hutan.

“Awalnya memang untuk pemanfaatan hasil hutan. Tapi seiring waktu, mangrove yang mereka tanam tumbuh besar dan bagus. Kelompok merasa sayang untuk menebangnya,” ujar Erizar.

Kesadaran itulah yang menjadi titik balik. Alih-alih ditebang, mangrove yang tumbuh subur justru menjadi sumber kehidupan baru. Warga mulai membangun rumah-rumah ikan, dan dari sinilah mereka memperoleh hasil tangkapan ikan, udang, dan kepiting yang melimpah. 

Melihat perubahan itu, pada 2022 kelompok kemudian merevisi rencana kerja dari pemanfaatan hasil hutan kayu (HHK)  menjadi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), ekowisata, jasa lingkungan, hingga silvofishery.

Erizar menjelaskan, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memang menyiapkan program Perhutanan Sosial untuk memberikan legalitas bagi masyarakat dalam mengelola kawasan hutan. 

“Salah satu kewajiban pemegang izin adalah melakukan penanaman, pemeliharaan areal, menjaga kawasan, dan melaksanakan perlindungan hutannya,” ujarnya.

Menurut Erizar, Pasar Rawa menjadi salah satu contoh keberhasilan pengelolaan Perhutanan Sosial di Langkat. Dari total luasan hutan mangrove di Langkat yang mencapai 13.431,99 hektare, kawasan mangrove di Pasar Rawa tercatat seluas 979,97 hektare, dengan tingkat kerapatan bervariasi dari jarang hingga lebat.

“Areal kelola KTH Penghijauan Maju Bersama menyumbang 18,15 persen dari luasan mangrove di Pasar Rawa dan sekitar 1,3 persen dari total mangrove di Langkat,” jelasnya.

KPH 1 Stabat turut memberikan berbagai dukungan bagi kelompok mulai dari fasilitasi usulan penghargaan Wana Lestari dan Kalpataru, bantuan alat ekonomi produktif, penilaian kelembagaan hingga kelompok naik kelas menjadi madya, hingga pendampingan penanaman.

Semua dukungan itu, kata Erizar, sejalan dengan semangat membangun ekonomi hijau dan ketahanan iklim di Sumatera Utara, sebagaimana arah pembangunan nasional dalam Asta Cita Presiden. “Karena itu kami terus melakukan rehabilitasi mangrove, patroli kawasan, penguatan kelembagaan, dan pemberian alat ekonomi produktif kepada warga,” urainya.

Menahan Bencana, Menjaga Energi Masa Depan

Meilinda Suriani Harefa, Dosen Pendidikan Geografi Unimed sekaligus aktivis lingkungan yang aktif di Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu), menegaskan bahwa hutan mangrove memegang peran krusial bagi keberlangsungan hidup masyarakat pesisir, terutama di tengah bencana yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim.

Menurutnya, mangrove adalah ekosistem yang bekerja dalam diam namun memberi perlindungan luar biasa. 
“Mangrove memiliki keunikan dengan kemampuannya sebagai peredam gelombang dan arus banjir, penahan erosi dan abrasi pantai, karena akarnya dapat menahan tanah sehingga menghindari risiko longsor. Akar-akarnya yang rapat juga berperan sebagai spons alami, menyerap limpasan air dalam volume besar saat banjir datang,” ungkap Meilinda.

Bukan hanya itu, keberadaan mangrove terbukti menjadi penyokong ekonomi masyarakat pesisir ketika bencana melanda. Ekosistem yang sehat membuat tangkapan ikan tetap tersedia, bahkan ketika pasang naik atau banjir rob terjadi. 

“Mangrove adalah faktor penting yang mampu mengurangi dampak perubahan iklim,” ujarnya menegaskan.

Meilinda menjelaskan bahwa mangrove kini diakui secara global sebagai salah satu nature-based solutions yang paling efektif dalam menghadapi perubahan iklim. Ia menjadi tameng pertama ketika badai, gelombang tinggi, dan cuaca ekstrem menghantam wilayah pesisir.

Ekosistem mangrove menyimpan karbon 4–5 kali lebih besar dibandingkan hutan daratan. Karena kemampuan ini, mangrove dianggap aset strategis dalam pengendalian emisi dan mitigasi krisis iklim.

Lebih jauh, Meilinda menegaskan hubungan erat antara mangrove dan ketahanan pangan. Di banyak desa pesisir, keberadaan mangrove menjadi penentu keberlanjutan perikanan tangkap, budidaya perairan, hingga sumber pangan lokal.

“Karena mangrove menyediakan bahan pangan secara langsung, menjaga produktivitas perikanan, mendukung silvofishery, menguatkan ekonomi pangan, dan melindungi sumber pangan dari bencana iklim,” jelasnya.

Dengan kondisi iklim yang makin tak menentu, keberadaan mangrove menjadi jaminan ketahanan pangan jangka panjang. 
“Pada intinya, mangrove bukan hanya pohon pesisir, tetapi benteng alami yang membuat manusia dan alam mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim,” tegas Meilinda.

Kontribusi Mangrove bagi Transisi Energi Bersih

Meski tidak menghasilkan energi, mangrove justru memegang peran strategis dalam pilar lingkungan untuk mendukung transisi energi bersih. Meilinda menjelaskan bahwa keberadaan mangrove menyerap emisi karbon residu yang tidak bisa sepenuhnya dihilangkan sektor energi terbarukan.

“Mangrove menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah sangat besar. Ia mengimbangi emisi yang tidak bisa dihilangkan oleh energi bersih,” ujar Meilinda lagi.

Tidak hanya itu, mangrove juga melindungi infrastruktur energi bersih dari kerusakan akibat badai dan gelombang ekstrem. Stabilitas ekosistem pesisir pun membantu memastikan transisi energi tidak mengorbankan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar.

“Energi bersih tidak bisa berjalan dalam lingkungan yang rusak, mangrove menjaga stabilitas ekologisnya. Ekosistem mangrove memastikan transisi energi tidak mengorbankan kesejahteraan social,” paparnya.

Kontribusinya turut masuk dalam target SDGs dan standar ESG perusahaan energi, sekaligus mengurangi biaya adaptasi iklim karena restorasi mangrove jauh lebih murah dibandingkan membangun infrastruktur perlindungan pesisir. “Perawatan lebih rendah, fungsi ekologis jauh lebih tinggi,” jelasnya.

Merujuk pada data Yagasu, Meilinda menyebutkan bahwa luasan mangrove yang tersisa di Kabupaten Langkat saat ini mencapai 26.774,70 hektare. Kawasan ini menjadi garda depan perlindungan lingkungan di pesisir timur Sumatera Utara.

“Dengan menjaga mangrove, kita bukan hanya melindungi alam, tapi juga masyarakat, ekonomi, dan masa depan,” tutupnya.

Jadi Motor Ekonomi Baru 

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, turut mengapresiasi geliat ekonomi mandiri yang tumbuh di Pasar Rawa. Menurutnya, pemanfaatan mangrove yang dilakukan masyarakat—mulai dari perikanan hingga olahan pangan—menjadi contoh nyata bagaimana UMKM bisa berkembang tanpa merusak lingkungan.

“Memanfaatkan kehadiran mangrove dari sisi ekonomi ini merupakan contoh pengembangan ekonomi kerakyatan yang tetap menjaga kelestarian alam,” ujarnya.

Gunawan menilai, potensi mangrove di Pasar Rawa masih sangat luas untuk dikembangkan. Ia mendorong agar masyarakat dan pemerintah terus melakukan inovasi, tidak berhenti pada pemanfaatan biota air saja. 

“Kita berharap ada upaya lanjutan untuk pengembangan bisnis kreatif lainnya yang bisa dikembangkan dari hutan mangrove. Jangan berhenti pada pengembangan ekonomi dari biota air tawarnya,” katanya.

Menurutnya, mangrove juga memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata. Selain menambah nilai ekonomi, ekowisata dinilai mampu memperkuat rasa memiliki masyarakat terhadap kawasan hutan. 

“Pengembangan mangrove sebagai objek wisata perlu dilakukan sebagai nilai tambah yang bisa dijadikan ide bisnis tambahan,” ungkapnya.

Gunawan menegaskan bahwa berbagai upaya kreatif ini penting agar keberadaan mangrove tidak hanya berfungsi menjaga ekosistem, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang nyata bagi warga sekitar.

Perjalanan Pasar Rawa adalah bukti bahwa ketahanan lingkungan dan ketahanan ekonomi dapat berjalan beriringan. Dari desa yang dulu mengandalkan arang, mereka bertransformasi menjadi komunitas yang menjaga 235 hektare mangrove yang kini mampu meredam banjir, angin kencang, menyerap karbon, menjaga perairan tetap produktif, menguatkan ketahanan pangan hingga mendukung ekowisata dan UMKM.

Di tengah krisis iklim yang kian nyata, Pasar Rawa menunjukkan bahwa ketika manusia merawat alam, alam pun kembali merawat manusia. (*)
Komentar Anda

Terkini